1. Pemikiran dangkal (al fikru al sathhy) yaitu melihat sesuatu kemudian menilainya tanpa adanya pemahaman.
2. Pemikiran mendalam (al fikru al ‘amiq) yaitu melihat sesuatu kemudian memahaminya, setelah itu baru menilai.
3. Pemikiran cemerlang (al fikru al mustanir) yaitu melihat sesuatu, lalu memahaminya dan memahami segala hal yang terkait dengannya, kemudian baru menilai.
Contoh berikut ini dapat digunakan untuk menjelaskan tiga macam pemikiran di atas, yaitu ketika manusia melihat pohon kismis yang memiliki daun dan berbuah. Orang akan menemukan bahwa pohon tersebut memiliki buah, daun dan kayu. Ketika melihat daun yang menghiasi pohon itu, orang memberikan penilaian bahwa manfaat daun hanyalah untuk hiasan pohon. Pandangan ini adalah pengambilan kesimpulan tanpa berpikir terlebih dahulu tentang daun, dan ini akan mengantarkan pada pemberian penilaian yang tergesa-gesa. Ini adalah penilaian yang dangkal.
Akan tetapi, jika orang yang mengkaji, setelah melakukan penelitian terhadap daun kismis, juga mengkaji seluruh hubungan yang terkait dengannya, sehingga tidak ada satu pun aspek interaksi yang ditinggalkan dalam penelitiannya —dia melakukan penelitian dan mengetahui semua— maka akan tampak baginya rahasia-rahasia ciptaan dalam daun, hukum-hukum dan aturan-aturan yang terdapat di dalam daun. Penilaian ini datang dari pemikiran yang cemerlang. Adapun jika orang hanya berhenti pada kekaguman terhadap keindahan daun yang menghiasi seluruh pohon tadi, maka orang tersebut masih terbatas pada pemikiran yang dangkal, dan sudah pasti orang ini tidak memiliki pemikiran yang cemerlang, karena pemikiran cemerlang harus didahului dengan pemikiran yang mendalam.
Pemikiran dangkal terjadi karena adanya transfer fakta ke otak tanpa usaha untuk mengindra apa yang berhubungan dengannya, dan tanpa mengaitkan pengindraan dengan ma’lumat yang berhubungan dengannya. Akibatnya, dihasilkan penilaian yang dangkal. Dan, pemikiran seperti ini biasanya terjadi pada orang-orang yang yang terbelakang dan pada orang-orang bodoh; tidak terdidik dan tidak terbina.
Penyelesaian atau paling tidak mengurangi pemikiran yang dangkal, dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, dengan menghilangkan kebiasaan berpikir dangkal yang dimilikinya, kemudian mengajari dan mendidik mereka dengan pemikiran yang lebih tinggi. Kedua, dengan memperbanyak latihan untuk mereka dan menghadapkan dengan realita sebenarnya. Ketiga, mengharuskan mereka hidup dalam kehidupan yang sebenarnya (live in). Dengan ini, akan meningkatkan pola berpikir mereka.
Jika orang yang memiliki pemikiran mendalam banyak di tengah-tengah umat, maka menggandeng tangannya untuk “bangkit” lebih mudah. Orang-orang ini, jika hidup di tengah-tengah umat, walau memiliki informasi yang terbatas, dan mengindra satu atau beberapa realita yang ada serta hidup di masa yang sama, mereka akan mampu memajukan umatnya. Mereka mampu mentransformasi umat dari satu keadaan ke keadaan yang lebih baik, mereka mampu menggambarkan kehidupan dengan gambaran yang faktual, karena mereka memiliki pemikiran yang benar dan pendapat yang shahih. Mereka memiliki al ihsas al fikri, yakni pemahaman yang dihasilkan dari pengindraan. Meskipun memiliki indra dan otak yang sama dengan orang biasa, karakteristik pengaitan yang terdapat pada otaknya lebih kuat, yang itu merupakan keunggulannya. Mereka mampu mengaitkan pengindraan dengan al ma’lumat al tsabiqah dengan benar. Artinya, pemikirannya adalah pemikiran unik yang berbeda dengan yang lain (al mutamayyiz). Memiliki al ihsas al fikri, yang menjadikan mantiqul ihsas-nya tinggi. Oleh karena itu, harus diupayakan pengentasan orang-orang yang berpikiran dangkal, sehingga di tengah-tengah umat terdapat para pemikir yang menjadi tiang sandaran bagi umat, dan, akan mengantarkan pada jalan kemajuan dan kemuliaan. Inilah pemikiran dangkal dan cara pengentasannya.
Pemikiran yang mendalam adalah mendalam pada pengindraan realita dan ma’lumat yang dikaitkan dengan pengindraan untuk memahami realita. Orang yang memiliki pemikiran yang mendalam, tidak akan cukup hanya dengan mengindra atau dengan memiliki al ma’lumat al tsabiqah saja, seperti orang yang berpikiran dangkal. Ia selalu mengulang-ulang pengindraan terhadap realita dan berusaha melakukan pengindraan seoptimal mungkin, dengan cara penelitian. Ia selalu mencari informasi yang valid dan bervariasi, dan mengulang pengaitan antara informasi dan realita sebanyak-banyaknya. Pemikiran mendalam tidak cukup hanya dengan mengindra sekali, lebih dari satu ma’lumat, pengaitan berulang-ulang. Jadi, berpikir mendalam adalah tahap kedua atau derajat yang lebih tinggi dari berpikir dangkal. Ini adalah pemikiran para intelektual (ulama’) dan orang-orang yang mendapat predikat pemikir.
Ringkasnya, berpikir mendalam adalah mendalam dalam pengindraan, ma’lumat dan pengaitannya.
Pemikiran cemerlang adalah pemikiran mendalam ditambah dengan berpikir terhadap segala sesuatu yang terkait dengannya agar dicapai kesimpulan yang benar. Berpikir mendalam dibangkitkan oleh ke dalam pemikiran. Sementara berpikir cemerlang adalah berpikir sampai pada sisi-sisi lain dari kedalaman pemikiran, dan berpikir terhadap segala sesuatu yang terkait dengannya agar dicapai tujuan yang dimaksud, yaitu diperoleh kesimpulan yang benar. Setiap pemikiran cemerlang adalah berpikir yang mendalam, dan tidak mungkin pemikiran cemerlang dihasilkan dari berpikir yang dangkal.
Setiap pemikiran mendalam tidaklah pemikiran yang cemerlang, karena tidak mengaitkan objek yang dikaji dengan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, dan dibatasi hanya pada kerangka berpikir mendalam saja, maka itu bukanlah pemikiran yang cemerlang. Contohnya, seorang mujtahid dalam menghukumi suatu kejadian atau masalah tertentu, dia akan menggunakan pemikiran yang mendalam, mengkaji Al Qur’an dan Al sunnah dengan mendalam, untuk menyelesaikan masalah (al musykilah). Selama pandangannya masih sebatas memahami masalah, lalu memberikan hukum atas masalah itu, berarti mujtahid tersebut hanya berada dalam kerangka pemikiran yang mendalam.
Contoh lain, seorang pakar atom (‘alim al dzarrah) dalam mengkaji pembelahan atom, atau pakar kimia dalam mengkaji pengklasifikasian atom dan molekul. Mereka membahas secara mendalam, dan dengan metode pemikiran mendalam tersebut ia mampu mencapai hasil yang diinginkannya. Jika pakar atom tersebut tidak berhenti hanya sebatas membelah atom, tetapi ia tergerak untuk mengetahui interaksi atom di alam, dan dalam penyusunan benda-benda, meneliti hasil dan konsekuensi-konsekuensi dari interaksi dan penyusunan tersebut. Maka pakar atom ini telah berpikir cemerlang, tidak hanya sekedar berpikir mendalam. Setiap pemikiran mendalam tidak selalu pemikiran cemerlang. Berpikir mendalam tidak serta-merta mampu membangkitkan manusia dan mengangkat level pemikirannya, akan tetapi yang mampu membangkitkan manusia adalah kecemerlangan berpikir. Kecemerlangan berpikir akan mewujudkan ketinggian pemikiran, yang dengannya akan mengantarkan kepada kebangkitan.
Meskipun terdapat kecemerlangan berpikir belum tentu mengantarkan pada hasil yang benar, seperti pada ilmu eksak, hukum, kedokteran dan lain-lain, akan tetapi kecemerlangan berpikir secara pasti akan meningkatkan level pemikiran, dan akan melahirkan para pemikir. Oleh karena itu, untuk membangkitkan umat tidak cukup hanya dengan keberadaan ilmuwan (ilmu eksak), ahli fiqh, ahli undang-undang, dokter dan insinyur, tetapi yang terpenting harus ada kecemerlangan berpikir. Artinya, terdapat pemikir yang cemerlang.
Oleh karena itu, secara pasti dapat dikatakan, bahwa jalan lurus yang harus ditempuh manusia adalah jalan pemikiran yang cemerlang, yang akan merealisasikan kebangkitan pemikiran yang shahih.
Itulah macam-macam pemikiran. Kita dapat menggunakan berbagai pemikiran yang ada untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, metode pemenuhannya berbeda-beda menurut aktifitas dan jenis berpikirnya. Jika kita memperhatikan perbedaan antara manusia dan hewan, kita akan mendapati bahwa manusia selalu dinamis (ibda’), semakin tingi (irtiqa’) dan maju (taqaddum) secara kontinyu, sedangkan hewan statis dengan keadaannya. Hewan juga mencari sarana-sarana untuk memenuhi naluri dan kebutuhannya seperti manusia, hanya saja, pencariannya sekedar untuk memenuhi naluri dan kebutuhannya, sedangkan cara mendapatkan dengan sarana apa —meskipun jenisnya berbeda— hewan tidak memperhatikannya, sebab telah terealisasi kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani maupun nalurinya.
Manusia selalu mencari hasil yang lebih tinggi dalam perjalanan hidupnya, sehingga mereka selalu berjuang untuknya, yang kesemuanya sangat bergantung pada pengalaman dan lingkungan masyarakatnya.
Manusia berbeda dengan hewan, dalam kemampuan mengaitkan realita dan informasi. Manusia memiliki kemampuan, sedangkan hewan tidak.
Tanpa adanya pengaitan antara al ma’lumat al tsabiqah dengan realita, tidak akan pernah ada kemajuan. Pemikiran yang cemerlang adalah dasar pijakan munculnya pertanyaan-pertanyaan: Dari mana saya? Kenapa saya ada? Dan, kemana saya akan kembali?
Pemikiran yang cemerlang akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jawaban yang memuaskan akal, menentramkan hati dan menenangkan jiwa. Kita harus menggunakan aktivitas berpikir dengan metode aqliyah, bukan dengan metode ilmiah. Manusia tidak bisa dijadikan kelinci percobaan di laboratorium, karena manusia bukan materi yang bisa dicairkan atau dipecah. Kita harus dapat menyimpulkan ketiga pertanyaan di atas, yakni kita harus memahami hakikat, eksistensi dan peran kita di dunia. Hakikat utama dan terpenting adalah kita tertunjuki iman kepada Allah SWT. Akan tetapi, sebelum kita bertolak untuk menggapai petunjuk keimanan pada hakikat eksistensi Allah SWT dengan metode pemikiran yang cemerlang, kita harus melakukan petualangan pemikiran (jaulah fikriyah) pada alam semesta, manusia dan kehidupan dengan pemikiran yang mendalam agar kita mengetahui hakikat manusia, sehingga pijakan kita adalah pijakan yang selamat dan dibangun berdasar pemikiran yang cemerlang.
Petualangan Pemikiran
Keimanan kepada Al Khaliq, menggapai petunjuk cahaya keagungan-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya adalah masalah utama dan mutiara yang ada di hadapan manusia sejak terbuka hatinya. Setiap saat, kita mempunyai waktu untuk menyaksikan, meneliti, memperhatikan dan menyelidiki yang dapat mengantarkan kepada petunjuk hakikat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan manusia dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, seperti air (al maa’), udara (al hawa’), tanah (al turaab), tumbuh-tumbuhan (al syajar), tanaman (al nabat), hewan, dan zat-zat padat (al jamad). Dialah yang menciptakan alam raya yang membentang luas ini.
Hingga saat ini, temuan ilmiah yang telah dihasilkan manusia banyak sekali, bahkan sampai tidak terhitung jumlahnya. Terkadang, hasil temuannya masih terbatas pada sesuatu untuk pijakan penemuan selanjutnya, atau sudah mampu membongkar rahasia keingintahuan manusia.
Akan tetapi, ilmu pengetahuan yang banyak tersebut belum bisa menetapkan darimana segala sesuatu itu berasal, baik yang hidup atau yang mati. Eksistensi segala sesuatu tersebut tegak di atas aturan yang sangat rinci, meyakinkan dan hukum yang sangat serasi dan indah. Sehingga kalaupun terdapat perubahan, justru menguatkan hukum-hukum dan aturan-aturan itu. Tidak mungkin ada yang mampu menyalahi perputaran perjalanan alami keberadaan benda, tetapi semuanya tunduk dan berjalan dengan pengendalian Zat Yang Maha Sadar dan Maha Merencanakan, dengan pengaturan yang meyakinkan. Dialah yang menciptakan, menegakkan dan menyempurnakan segala sesuatu.
Ilmuwan —ketika berhasil menyingkap hakikat hukum alam— pasti akan memproklamirkan keimanannya yang benar terhadap keagungan kekuasaan Sang Pencipta, Sang Penyempurna, dan Sang Pengatur alam. Bentuk apa pun yang dikehendaki akan disusun-Nya, keadaan apa pun yang diinginkan akan dibuat oleh-Nya.
Marilah berpetualang dengan merenung dan berpikir yang mendalam tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta! Untuk mengetahui sekelumit temuan-temuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan temuan-temuannya tidak hanya mengungkap misteri dan rahasia alam saja, tetapi akan menunjukkan pada hukum-hukum penciptaan dan kekuatan dalam pengaturan. Tidak mungkin manusia —setinggi apa pun ilmu pengetahuannya— mampu membuat dan menetapkan yang sama seperti itu.
Jika telah terkuak sedikit saja misteri alam dari kajian-kajian ilmu meteorologi, biologi, fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran, maka akan menampakkan keajaiban-keajaiban dan keanehan-keanehan yang menunjukkan hakikat Sang Pencipta (Al Khaliq), keagungan Uluhiyah, dan kebesaran Rububiyah-Nya.
Adalah suatu ketetapan yang tak terbantahkan adanya keselarasan temuan-temuan ilmiah dengan keimanan. Keduanya saling mengokohkan dalam memahami berbagai hakikat.
Untuk membuktikannya marilah kita telusuri berbagai kitab-kitab ilmiah, yang darinya kita akan meneguk pandangan yang mendalam. Agar jalan yang kita tapaki untuk menuju keimanan terhadap Allah SWT tertunjuki melalui pemikiran yang cemerlang. Juga, agar tertancapnya titik terang yang kita ketahui, akan mengantarkan kepada tujuan yang dicita-citakan, dengan suatu anggapan bahwa tidak mungkin memuat kajian-kajian dan temuan-temuan secara total karena itu akan menelan berjuta-juta jilid buku, dan akan menghabiskan lahan untuk perpustakaan. Marilah kita berpetualang!
[Terjemahan dari Kitab Thariiqul Iman, Dr. Samih Athif az Zain]
0 komentar:
Posting Komentar