Minggu, 09 Januari 2011

Di Balik Fenomena Anarkisme Massal (Catatan Sosial Akhir Tahun)


Adalah Zainal (18) seorang pencuri burung perkutut dibakar massa hingga tewas. Zainal di bakar hidup-hidup bersama sepeda motornya yang tanpa  plat ketika kepergok hendak mencuri burung. Pemuda dari Negara Batin Kecamatan Jabung Lampung Timur itu apes ketika melarikan diri dan terjatuh di tikungan. Zainal disiram dengan bensin dan di bakar. Jenazah Zainal di antar ke rumahnya dengan keadaan rusak.(Harian Global,22/9/2010) 



            Menutup tahun 2010 Tabanio Pleihari rusuh. Warga desa mengamuk karena tidak puas atas keputusan bupati tentang batas desa yang menyebabkan sebagian tanah rawa desa yang dijadikan sumber penghasilan mereka mengambil kayu galam berpindah ke wilayah ujung batu untuk ditanami sawit oleh PT Kintap Jaya Wattindo. Delapan rumah dan lima mobil di bakar oleh massa yang gelap mata. Kadesnya berdarah-darah bahkan sekdespun koma karena pukulan benda keras di kepalanya. (Kapos, 16/12/2010)

            Tak ketinggalan anarkhisme massa juga merambah ranah politik, kisruh pasca pilkada sering kali terjadi di beberapa daerah. Yang dekat dengan kita anarkisme massa yang terjadi pasca pilkada di Kotawaringin Barat, massa dengan mudahnya merusak taman-taman kota dan membakar tugu Adipura, membakar fasum dan tugu Adipura yang bukan dominasi salah satu calon kepala daerah karena fasum tersebut milik masyarakat.
            Anarkisme antar kampung juga telah menjadi tren dan fenomena baru, anarkisme tak lagi hanya melibatkan individu / kelompok tapi telah melibatkan massa dengan basis kewilayahan. Kampung dengan kampung, desa dengan desa. Bahkan anarkisme massal merembet ke masalah etnis, anarkisme kasus Tarakan, Ampera, Blowfish, seolah melengkapi deretan permasalahan sosial yang melanda negeri ini.

Ciri Masyarakat Sakit
            Fenomena anarkhisme atau kekerasan massal merupakan salah satu ciri dari sebuah masyarakat yang sedang sakit. Dalam masyarakat yang sehat anarkisme massal tidak akan muncul, karena masyarakat paham bagaimana cara menyelesaikan setiap persoalan secara baik dan rasional.
            Mengapa masyarakat kita sekarang menjadi sakit? Apa yang menjadi penyebabnya? Setidaknya ada tiga faktor utama yang melatarbelakanginya.
            Pertama, sistem hukum yang ada terbukti telah gagal melindungi masyarakat dan menghilangkan atau mengurangi kejahatan. Di tengah masyarakat sekarang bukan tidak ada sistem hukum yang berjalan. Hanya, sistem hukum itu dirasakan tidak mampu melindungi harta, jiwa dan kehormatan segenap anggota masyarakat, serta gagal menghilangkan berbagai bentuk kriminalitas dan tindak kejahatan.
            Apa yang kita pikirkan ketika seseorang, karena suatu persoalan sepele, begitu entengnya melakukan pembunuhan. Atau, perampok yang beraksi, kadang di siang hari bolong, lalu seketika itu harta milik kita berpindah secara paksa. Begitu pula pemerkosaan atas diri seorang wanita oleh sejumlah orang yang tak jarang berakhir dengan pembunuhan. Semua itu bermuara dari rusaknya sistem hukum yang secara nyata tidak mampu melindungi jiwa dan harta serta kehormatan manusia. Patut dipertanyakan juga, bila sekian lama masyarakat protes terhadap lokasi prostitusi, pusat-pusat hiburan seperti pub dan diskotek, tapi tetap saja kegiatan itu berjalan seolah kebal dari hukum? Padahal tempat-tempat seperti itu seringkali menjadi sarang kejahatan.
            Kita akan merasa bahwa nyawa, harta dan kehormatan kita selalu dalam keadaan terancam. Kita juga akan merasa bahwa hukum yang ada tidak bisa menghilangkan segala bentuk kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Benar, ada pengadilan dan tidak sedikit penjahat yang sudah dihukum. Tapi apa manfaat peradilan dan hukuman itu bila semua itu kemudian ternyata tidak mampu menghilangkan atau paling tidak menekan angka tindak kejahatan. Buktinya, tindak kejahatan makin marak, bahkan dengan kualitas yang juga cenderung meningkat. Bukankah semua bentuk kemungkaran itu terus saja berkembang di tengah masyarakat?
            Kedua, penegak hukum gagal menjalankan fungsinya secara benar. Dalam berbagai kejadian anarkis dilakukan bukan karena tidak ada polisi. Pembakaran fasum dan tugu Adipura di Pangkalan Bun pasca pilkada misalnya, dilakukan di hadapan sejumlah anggota polisi. Tapi mereka hanya bisa menonton. Tidak lebih dari itu, karena tak kuasa menahan amarah massa.
            Kenyataan ini, juga kasus yang lain, menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpercayaan masyarakat yang sangat ekstrim terhadap aparat keamanan. Mengapa begitu? Ketidakpercayaan ini bukan terjadi begitu saja. Masyarakat sudah sering melihat atau mengalami, bagaimana penjahat yang diserahkan kepada polisi, esok atau lusa bebas begitu saja. Kalaupun ada proses hukum dan sanksi, tidak jarang tak sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa banyak orang berkedudukan atau berharta yang jelas-jelas melakukan kejahatan, tapi dengan berbagai dalih, polisi tidak melakukan tindakan yang semestinya. Para aparat penegak hukum telah terbeli.
            Secara akumulatif, keadaan ini membuat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak hukum. Bukan hanya polisi, tapi juga jaksa dan para hakim. Orang kemudian membenarkan ungkapan, "di lembaga peradilan justru banyak terjadi ketidakadilan".
            Ketiga, berkembang suasana anarkhisme massal, yakni ketika terjadi kecenderungan, bahwa tiap persoalan yang ada di tengah masyarakat, penyelesainya ditempuh dengan cara kekerasan.
            Kecenderungan ini jelas sekali dipicu oleh faktor yang pertama dan kedua tadi. Ketika masyarakat menilai bahwa hukum yang ada tidak lagi bisa diandalkan, demikian adanya dengan para aparat penegak hukumnya, maka mereka akan terdorong untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan nalurinya sendiri. Yakni cara yang dinilainya lebih memuaskan hasilnya. Maka, di sini otak tidak diperankan semestinya dan emosilah yang mengedepan. Jadilah kekerasan itu sebagai pilihan yang digandrungi masyarakat ketika menghadapi persoalan. Diskusi, musyawarah atau perundingan akan dirasakan hanya memperpanjang cerita yang mendatangkan kekecewaan.
           
Solusi Fundamental
            Persoalan yang sudah demikian gawat ini jelas harus segera diselesaikan. Sekali pun bukan perkara yang gampang.
            Yang utama adalah harus diberlakukan segera sistem hukum yang mampu mencegah terjadinya kejahatan sekaligus mampu melindungi masyarakat. Persoalannya, sistem hukum yang bagaimana dan dari mana? Pilihannya ada dua: hukum Islam dan hukum sekuler. Aqidah di dada setiap muslim memang mewajibkan untuk terikat hanya kepada hukum Islam saja.
            Hukuman yang tampak keras sesungguhnya mengandung daya prevensi yang sangat besar sebagai hikmah di baliknya. Justru inilah yang tengah dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat. Yakni kemampuan mencegah mewabahnya kejahatan berikutnya, setelah hukuman dijatuhkan kepada sang pelaku. Inilah, yang oleh Syekh Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamy, disebut sebagai zawajir (pencegah).
            Bukan hanya pembunuhan, bila masyarakat luas tahu bahwa hukuman buat pelaku kejahatan, dilakukan setimbang dengan kadar kejahatannya, tentu akan menjadi terapi sosial bagi mereka yang akan melakukan tindak kejahatan itu. Orang menjadi tidak mudah melakukan kejahatan. Pada akhirnya, bisa diharapkan tercipta kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram.
            Kemudian harus dihadirkan pula para aparat penegak hukum yang terpercaya. Mereka harus memiliki iman yang tangguh, secara finansial hidup tercukupi sehingga tidak mudah tergoda dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar. Mereka harus sadar, bahwa mereka memegang posisi kunci sebagai benteng penegak hukum. Rasa tanggung jawab ini terutama dimotivasi oleh niatan untuk beribadah. Bahwa Allah lah yang mengawasi dan memberikan imbalan pahala yang besar di akhirat kelak.
            Dengan karakter seperti ini, aparat penegak hukum diharapkan tidak mudah melakukan penyimpangan. Penyimpangan akan dirasakan sebagai perbuatan dosa. Bukan hanya itu, dia juga sadar bahwa penyimpangan yang dilakukan itu akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat. Tanpa penerapan hukum yang benar, masyarakat yang aman dan tenteram menjadi hanya sekadar impian.
            Fenomena anarkhisme massal adalah fenomena dari sebuah masyarakat yang tengah sakit. Ini menjadi bukti, bahwa tatanan masyarakat yang sekuler bukan membangun tapi malah menghancurkan masyarakat itu sendiri. 
 oleh:  Santiani, S.S.i, M.Pd ( Dosen STAIN Universitas Palangkaraya)

0 komentar:

Posting Komentar



 
media kampus Copyright © 2010 Blogger Template Sponsored by Trip and Travel Guide